Cerita Prananta si Korban Merapi

Sore hampir beranjak malam. Saya asyik menyeruput kopi hitam di pinggir jalan depan RS. Roemani- Semarang ketika seorang lelaki bertubuh pendek berkulit hitam masuk kedalam warung. Awalnya saya tak terlalu memperhatikan kehadirannya, pun ketika dia bertukar sapa dengan pemilik warung dalam bahasa jawa yang halus. Namun tiba-tiba perhatian saya tersedot ketika saya menangkap cerita soal Merapi dari bapak berkaus biru tua itu. Saya tak terlalu paham bahasa Jawa halus tapi tetap bisa menebak cerita si bapak tentang anaknya yang jadi korban letusan merapi. Tanpa sadar saya mulai ikut nimbrung percakapan mereka.
Saya bertanya dalam bahasa Indonesia untuk memberi isyarat kalau saya tak bisa berbahasa Jawa, dan si bapak dengan ramah melayani pertanyaan saya. Dari situlah rangkaian cerita sedih itu bermula.
Bapak itu bernama Hardi. Dia berasal dari sebuah desa kurang lebih 3 KM di belakang candi borobudur. Pak Hardi sendiri mencari nafkah di Jakarta sebagai supir pribadi, meninggalkan istri dan 4 anaknya di kampung. Anaknya yang terkecil bernama Prananta Afriyansyah berumur 8 bulan. Aslinya Prananta adalah anak yang riang dan tidak menyusahkan orang tuanya. Pak Hardi menunjukkan foto Prananta yang sedang tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Lucu. Nama file fotonya diberi nama “Anak Emas”, sungguh sebuah pengharapan dan kebanggaan berbalut rasa bahagia dari pak Hardi dan istrinya.
Namun siapa yang menyangka ledakan Merapi tanggal 4 November 2011 mengubah jalan hidup Prananta yang beberapa giginya baru tumbuh itu. Pak Hardi bercerita kalau ledakan Merapi malam itu membuat kaca rumahnya bergetar dan disusul bau belerang yang menyengat. Belakangan genteng dan dan seluruh bangunan, halaman dan jalan mulai tertutup debu vulkanik. Prananta yang masih terlalu kecil ternyata tak mampu bertahan dari debu dan asap beraroma belerang itu.
Dengan cepat suhu tubuhnya meningkat. Pak Hardi sekeluarga berinisiatif mengungsi ke keluarga mereka di Kendal dengan harapan kondisi Prananta tak makin memburuk. Namun cerita tak selamanya sesuai harapan. Di Kendal, kondisi Prananta ternyata makin memburuk. Panasnya makin tinggi sehingga pak Hardi dengan tergopoh-gopoh membawa malaikat kecilnya itu ke RS. Kendal. Tak ada penanganan berarti di sana, Prananta sempat kejang-kejang selama 4 jam tanpa penanganan dokter.
Dari Kendal pak Hardi membawa anaknya ke RS. Roemani Semarang, tentu saja dengan harapan Prananta bisa kembali tersenyum riang seperti di foto yang ditunjukkannya ke saya. Dokter di RS. Roemani bergerak cepat meski mungkin sudah terlambat. Prananta terus-terusan kejang, panasnya tak beranjak dari angka 40 derajat. Kedua tapak tangannya menekuk ke dalam, mungkin karena pengaruh kejang yang terlambat ditangani itu.
Pak Hardi pasrah ketika Prananta dimasukkan ke ruang ICU. Total 10 hari si bayi kecil itu menghabiskan waktu dalam perawatan intensif dokter di ruang ICU yang berpendingin. Kondisinya tak banyak perubahan meski panasnya perlahan-lahan turun ke 38 derajat. Matanya kadang menatap kosong ke langit-langit, nyaris tanpa respon. Nafasnya sesak hingga harus dibantu dengan selang oksigen. Kedua tangannya masih tertekuk ke dalam. Hari saya miris ketika saya melihat langsung penderitaan bocah yang belum lagi berulang tahun yang pertama itu.
Menurut dokter ada flek di paru-paru Prananta, kemungkinan karena menghirup debu beraroma belerang dari letusan Merapi. Parahnya lagi, karena penanganan yang terlambat akibat panas tinggi dan kejang-kejangnya itu maka mungkin saja ada kerusakan saraf di otak Prananta. Untuk memastikannya tim dokter akan melakukan CT Scan. Hingga hari ke-13 di RS. Roemani, Prananta telah ditangani oleh 4 dokter ahli.
Bagi pak Hardi ada satu masalah lagi yang selalu membebani pikirannya. Apalagi kalau bukan biaya. Hingga hari ketigabelas di RS. Roemani, biaya pengobatan Prananta sudah mencapai angka Rp. 19.600.000,- sebuah angka yang tentu sangat besar bagi seorang supir pribadi seperti pak Hardi. Bossnya di Jakarta juga sudah berulangkali menelepon menanyakan kapan si bapak kembali bertugas. Pak Hardi hanya bisa meminta pengertian dari bossnya tanpa pernah bisa memberi kepastian kapan dia bisa kembali ke Jakarta.
” Saya pasrah aja mas, kalau boss dapat pengganti saya ya mau bagaimana lagi. Kerjaan masih bisa dicari, tapi nyawa anak tetap nomor satu “, begitu katanya dalam bahasa Jawa yang medhok. Miris, saya hampir menangis mendengarnya.
” ?Bapak tidak dapat bantuan dari pemerintah ? ” Tanya saya mencoba mencari tahu.
” Yang dapat cuma yang rumahnya berada dalam radius 30km Mas, sementara saya sudah hampir 40 Km dari Merapi “, suaranya begitu lemah ketika menjawab namun sedikit senyum masih tersungging di bibirnya. Saya bisa merasakan beratnya beban pikiran pak Hardi, atau mungkin beban beratnya jauh lebih berat dari yang bisa saya rasakan ? Entahlah.
Pak Hardi bercerita kalau dia sebenarnya mau mencoba mendatangi posko bencana Merapi untuk mengadukan nasibnya, tapi ?dia juga bingung karena tak sampai hati meninggalkan istrinya sendirian menjaga Prananta. Tanpa pak Hardi, sang istri sangat rapuh. Saya melihat sendiri bagaimana pak Hardi berusaha tetap tegar dan membesarkan hati istrinya yang hampir saja mengutuki takdir.
” Mungkin memang sudah jalannya anak saya mas seperti ini “, lagi-lagi sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya ketika dia mengucapkan kalimat itu. Sungguh, saya mengagumi ketabahan dan kekuatan pak Hardi.
Karena beban biaya itu juga pak Hardi dibantu beberapa keluarganya berinisiatif memindahkan Prananta ke RS. Sardjito di Jogjakarta. Asumsi mereka, RS. Sardjito yang rumah sakit pemerintah tentu lebih murah daripada RS. Roemani yang rumah sakit swasta. Selain itu, jarak kota Jogja dan kampung mereka di Borobudur lebih dekat sehingga keluarga bisa datang membesuk. Pak Hardi sangat berterima kasih pada seorang dokter yang sudah berusaha membantunya sebisa mungkin, termasuk untuk urusan kepindahan Prananta.
Senin sore (22/11) Prananta dipindahkan ke RS. Sardjito. Pak Hardi sempat berpamitan ke saya, memohon doa semoga Prananta bisa sembuh seperti sedia kala. Ketika sebuah ranjang beroda berisi Prananta melintas di depan saya, rasanya ada hati yang teriris melihat bocah rapuh itu gemetar menatap langit-langit dengan pandangan kosong dan telapak tangan yang tertekuk.
Semoga Allah membuka pintu hati banyak orang untuk menolong pak Hardi dan Prananta, semoga Allah memberi yang terbaik untuk keluarga yang tabah itu.
Catatan : senin (22/11) sore saya menyalurkan sumbangan beberapa teman-teman di Makassar yang terhimpun atas inisiatif gerakan Makassar Tidak Kasar kepada pak Hardi dan keluarga. Ucapan terima kasih diucapkan dengan tulus oleh pasangan itu kepada teman-teman di Makassar yang sudah berbaik hati menyisihkan sedikit rejekinya untuk para korban bencana merapi.? Dan terima kasih utamanya saya ucapkan untuk Keyka Syamsoe yang bergerak cepat merespon kicauan saya di Twitter tentang pak Hardi dan Prananta. Seperti kata pak Hardi dan istri, ” hanya Allah yang bisa membalas kebaikan hati teman-teman semua”
sedikit empati, mungkin akan meringankan beban sesama. mereka yang ditimpa kemalangan ini, sesungguhnya sedang berjuang mempertahankan nilai kemanusiaannya di hadapan sang Khalik. Yang terbaik diantaranya adalah yang bersabar dan selalu berprasangka baik atas bencana yang melanda. Mari kita doakan semua saudara kita yang sedang digelut bencana ini menjadi orang2 yang didekatkan kepadaNya. Amin.
Turut prihatin, semoga Pranata disembuhkan oleh yang maha kuasa…
Semoga cepat sembuh, Prananta.
Btw gimana Hilmy sekarang?
@denun: Aminn..
@daengrusle: terima kasih untuk opininya daeng, mari mendoakan yg terbaik untuk saudara-saudara kita
@indobrad: syukurlah Oom, Hilmy sudah membaik. makanya sekarang udah bisa tenang kembali ke Makassar 🙂
Terenyuh… Bumi Tuhan adalah rejeki bagi kita semua..
eh komenku kemana yah
turut prihatin, baca postingan ini kok mata saya berkaca2 yah?
salut …….
Keren daeng. Indahnya bisa berbagi dan Indahnya sebuah kebersamaan.
Saya terharu baca postingan ini. Keep it up Daeng. Semoga bisa ditiru rekan-rekan yang lain
*speechless
@anbhar: ndak apa2 berkaca2 Anbhar, yang penting tidak bercermin2..:D
@Cipu: terima kasih cess, ini salah satu bukti kalau “Makassar Tidak kasar” 🙂
@kHie: makasih Khie 🙂
Ini cerita yang bagus banget mas Ipul. 3 km dari Borobudur? Hmm, mestinya itu masih cukup jauh dari Merapi. Dulu rumah saya di situ. Tapi memang debu vulkanik itu bahaya, esp bagi bayi.
@Helman: mungkin karena efek getarannya yang keras banget sampe2 jauh dari Merapi aja masih kerasa. bahkan debunya kan ampe masuk kota Jogja juga..
daeng Ipul, postingan ini saya publish juga di web Makassar Tidak Kasar nah… 😀
komen sayah masuk sepam lagi T_T